Mengenang Gempa Megathrust Banda 1629: Pelajaran Berharga untuk Mitigasi Bencana di Indonesia

Gempa bumi dahsyat berkekuatan M8,7 yang mengguncang Kamchatka, Rusia, menjadi pengingat bagi kita semua, terutama di Indonesia, akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Indonesia, seperti halnya Kamchatka, terletak di wilayah yang rentan bencana karena posisinya yang berada di jalur pertemuan lempeng tektonik. Kondisi geografis ini menuntut kita untuk selalu waspada terhadap aktivitas tektonik dan vulkanik.

Meskipun teknologi terus berkembang, prediksi akurat kapan gempa bumi dan tsunami akan terjadi masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, pendekatan terbaik adalah dengan memahami alam dan belajar dari pengalaman bencana di masa lalu.

Salah satu peristiwa penting yang patut diingat adalah gempa megathrust yang mengguncang Laut Banda, Kepulauan Maluku, pada 1 Agustus 1629, tepat 396 tahun lalu.

Gempa Megathrust dan Tsunami Setinggi 15 Meter

Gempa Banda 1629 tercatat memiliki kekuatan M8,3 dan memicu tsunami dengan ketinggian mencapai 15,3 meter. Gelombang tsunami tersebut menghantam Benteng Nassau di Banda Naira dan desa-desa pesisir sekitarnya, menyebabkan kerusakan parah. Bahkan, pemecah gelombang yang terbuat dari batu di depan benteng hancur diterjang air, dan bongkahan besi seberat 1.558 kilogram terseret sejauh 11,3 meter ke dalam benteng.

Meskipun catatan sejarah mengenai peristiwa ini terbatas, simulasi yang dilakukan oleh ilmuwan modern mengungkap bahwa gempa Banda 1629 merupakan gempa megathrust yang disebabkan oleh tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia di zona subduksi Lempeng Banda, tepatnya di selatan Pulau Seram. Gempa susulan diperkirakan berlangsung selama sembilan tahun setelah kejadian utama, dengan efek yang dirasakan hingga radius 300 kilometer dari pusat gempa.

Menariknya, tsunami hanya tercatat di Banda, sementara Ambon, kota besar yang dekat dengan pusat gempa, tidak terdampak. Informasi ini menjadi kunci bagi para peneliti untuk mempersempit kemungkinan lokasi sumber gempa.

Potensi Bahaya di Masa Depan

Eksplorasi lautan di abad ke-20 mengungkap fakta bahwa Laut Banda menyimpan potensi bahaya yang besar. Salah satu penemuan penting adalah keberadaan Palung Weber, palung terdalam di Bumi dengan kedalaman mencapai 7.400 meter dan luas 50 ribu kilometer persegi. Palung ini terbentuk akibat aktivitas tektonik di wilayah tumbukan antarlempeng bumi.

Posisi Laut Banda yang berada di antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia menjadikannya sangat labil. Aktivitas tektonik di bawah laut dapat memicu longsoran tanah bawah laut yang berpotensi menimbulkan tsunami.

Studi pemodelan tsunami di Laut Banda menunjukkan bahwa aktivitas tektonik di wilayah ini dapat menghasilkan tsunami setinggi 7,7 meter. Pulau Seram bagian timur diperkirakan akan menjadi wilayah pertama yang terdampak gelombang dahsyat tersebut.

Dari peristiwa gempa megathrust Banda 1629, kita belajar bahwa ancaman gempa dan tsunami selalu mengintai dari kedalaman lautan. Oleh karena itu, upaya mitigasi bencana yang baik adalah cara terbaik untuk hidup selaras dengan alam dan meminimalkan risiko yang mungkin terjadi.

Scroll to Top