Donor ASI: Bukan Sekadar Berbagi, Ada Prosedur Medis yang Wajib Dipahami

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dari donor merupakan solusi bagi bayi yang membutuhkan, namun pelaksanaannya tidak boleh sembarangan. Ada indikasi medis dan prosedur ketat yang harus diikuti untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya.

Ketua Satuan Tugas ASI menekankan pentingnya edukasi yang benar mengenai praktik donasi ASI. Pemberian ASI donor tidak bisa hanya mengandalkan informasi dari internet. Penerima dan pendonor ASI harus memenuhi kriteria tertentu.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri tidak merekomendasikan donor ASI berbasis internet. Donor ASI idealnya melalui proses skrining dan pasteurisasi. Karena Indonesia belum memiliki Bank ASI yang terpusat, donor ASI sebaiknya dilakukan di lingkungan rumah sakit.

Penentuan bayi yang menerima ASI donor harus berdasarkan indikasi medis yang jelas. Contohnya, bayi prematur dengan berat badan di bawah 1.500 gram yang ibunya belum menghasilkan ASI. Pemberian ASI donor bukan untuk ibu yang enggan menyusui.

Calon pendonor ASI harus memastikan ASI untuk kebutuhan bayinya sendiri sudah tercukupi sebelum mendonorkan ke bayi lain. Jika ASI tidak mencukupi, ibu sebaiknya fokus memberikan ASI untuk bayinya sendiri.

Pendonor ASI juga wajib menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan, seperti tes Hepatitis B, Hepatitis C, HIV, CMV, dan sifilis, untuk memastikan ASI yang diberikan aman.

Setelah lolos skrining, ASI yang didonasikan harus melalui proses pasteurisasi sebelum diberikan kepada bayi.

Meskipun Bank ASI belum tersedia secara resmi di Indonesia, beberapa rumah sakit pendidikan telah memiliki unit donor ASI yang mengikuti alur prosedur yang benar. Masyarakat dapat mencari informasi dan edukasi mengenai donor ASI di rumah sakit yang memiliki unit tersebut.

Scroll to Top