Polemik royalti musik kembali menghangat. Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menanggapi fenomena kafe dan restoran yang beralih menggunakan suara alam atau kicau burung sebagai alternatif untuk menghindari kewajiban pembayaran royalti musik.
Dharma menegaskan, penggunaan rekaman suara alam atau burung tetap melibatkan hak cipta, khususnya hak terkait milik produser rekaman yang menghasilkan rekaman tersebut. Menurutnya, walaupun bukan lagu, rekaman suara tersebut memiliki nilai komersial dan dilindungi undang-undang.
"Produser yang merekam suara burung atau suara alam itu memiliki hak atas rekaman fonogram tersebut, jadi tetap ada kewajiban yang harus dipenuhi," ujarnya.
Selain itu, Dharma juga mengingatkan bahwa restoran yang memutar lagu-lagu internasional pun tetap wajib membayar royalti. Hal ini dikarenakan LMKN dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) telah menjalin kerjasama dengan pihak luar negeri terkait hak cipta lagu-lagu tersebut.
"Kita terikat perjanjian internasional. Ada kerjasama dengan luar negeri, dan kita juga melakukan pembayaran ke sana," jelas Dharma.
Dharma menyayangkan narasi yang berkembang bahwa pembayaran royalti dianggap memberatkan pelaku usaha. Ia menegaskan bahwa kewajiban membayar royalti adalah amanat Undang-Undang dan merupakan bentuk penghargaan terhadap hak pencipta.
"Bagaimana kita memanfaatkan karya cipta sebagai bagian dari bisnis kita, tetapi tidak mau membayar haknya? Jangan ciptakan narasi seolah-olah memutar suara burung adalah solusi," tegas Dharma.
Pernyataan ini muncul setelah kasus pelaporan restoran Mie Gacoan di Bali oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) atas dugaan pelanggaran hak cipta. Direktur waralaba tersebut ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memutar musik tanpa izin dan tidak membayar royalti sejak tahun 2022.
Tarif royalti musik untuk restoran dan kafe diatur dalam SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016. Berdasarkan aturan tersebut, pelaku usaha wajib membayar Royalti Pencipta dan Royalti Hak Terkait, masing-masing sebesar Rp60.000 per kursi per tahun.
Kasus ini memicu perdebatan tentang penerapan royalti musik di Indonesia. Beberapa pihak menganggap tarif royalti memberatkan pelaku usaha, sementara pihak lain berpendapat bahwa pembayaran royalti adalah kewajiban yang harus dipenuhi untuk menghargai hak pencipta dan produser rekaman.