Kabar mengejutkan datang dari dunia sains. Penelitian terbaru mengungkap bahwa atmosfer Bumi yang kaya oksigen ternyata lebih rapuh dari yang kita kira. Para ilmuwan memperkirakan keruntuhan atmosfer, dengan penurunan drastis kadar oksigen, dapat terjadi lebih cepat dari perkiraan sebelumnya.
Kiamat Oksigen dalam Skala Waktu Geologis
Meskipun keruntuhan total diperkirakan baru akan terjadi dalam satu miliar tahun, penurunan kadar oksigen yang signifikan dapat terjadi dalam 10.000 tahun ke depan. Sebuah rentang waktu yang sangat singkat dalam skala geologis.
Apa yang Memicu Penurunan Oksigen?
Penyebab utama dari "deoksigenasi besar-besaran" ini adalah evolusi alami Matahari. Seiring waktu, intensitas cahaya Matahari akan meningkat, membuat Bumi semakin panas. Kenaikan suhu ini akan memicu serangkaian peristiwa dahsyat:
- Kerusakan CO2: Peningkatan suhu akan merusak karbon dioksida (CO2) di atmosfer.
- Fotosintesis Terhambat: Kerusakan CO2 akan menyulitkan tumbuhan dalam proses fotosintesis.
- Ancaman Tumbuhan dan Hewan: Karena tumbuhan adalah sumber utama oksigen, kelangsungan hidup manusia dan hewan akan terancam.
- Penipisan Ozon: Kekurangan oksigen akan mengakibatkan hilangnya lapisan ozon, membuat Bumi rentan terhadap radiasi ultraviolet berbahaya.
- Gas Metana Meningkat: Gas metana akan menumpuk di atmosfer, menciptakan kondisi beracun bagi sebagian besar bentuk kehidupan.
Masa Depan Bumi Tanpa Oksigen?
Para ilmuwan memperkirakan kadar oksigen dapat menurun drastis, hingga sejuta kali lebih rendah dari level saat ini. Jika ini terjadi, Bumi mungkin menjadi tidak layak huni bagi manusia dan sebagian besar makhluk hidup yang bergantung pada oksigen. Hanya mikroorganisme anaerobik, yang tidak memerlukan oksigen, yang mungkin dapat bertahan.
Atmosfer Bumi pernah berada dalam kondisi serupa miliaran tahun lalu, sebelum "Peristiwa Oksidasi Besar" yang memperkaya planet kita dengan oksigen. Temuan ini juga memberikan wawasan bagi para astronom dalam mencari kehidupan di exoplanet, menunjukkan bahwa keberadaan oksigen di sebuah planet tidak selalu bersifat permanen.
Penelitian ini menekankan bahwa segala sesuatu di alam semesta bersifat sementara, termasuk kondisi yang mendukung kehidupan di Bumi. Meskipun tidak terkait langsung dengan perubahan iklim akibat aktivitas manusia, studi ini menjadi pengingat akan kerapuhan ekosistem yang menopang kehidupan kita.