Tragedi bom atom Hiroshima pada 6 Agustus 1945, pukul 08.15, meninggalkan duka mendalam bagi seluruh dunia. Di tengah reruntuhan dan kematian, tersembunyi sebuah fakta yang sering terlupakan: banyak korban adalah warga Korea. Saat itu, Korea berada di bawah penjajahan Jepang selama 35 tahun, memaksa sekitar 140.000 warga Korea tinggal di Hiroshima, baik sebagai pekerja paksa maupun untuk bertahan hidup.
Lee Jung-soon, seorang nenek berusia 88 tahun, adalah salah satu saksi bisu kengerian tersebut. Ia mengingat bagaimana ayahnya panik menyuruh mereka mengungsi, jalanan dipenuhi mayat, dan dirinya hanya bisa menangis. Ledakan dahsyat itu meluluhlantakkan kota, menewaskan puluhan ribu orang seketika, dan lebih banyak lagi meninggal akibat radiasi, luka bakar, dan dehidrasi dalam beberapa bulan berikutnya.
"Bom atom… itu adalah senjata yang sangat mengerikan," ujarnya dengan nada pilu.
Kisah pilu ini juga dialami oleh Shim Jin-tae, seorang penyintas berusia 83 tahun yang kini tinggal di Hapcheon, Korea Selatan, sebuah daerah yang dijuluki "Hiroshima-nya Korea" karena menjadi rumah bagi banyak penyintas bom atom. Shim merasa terlupakan dan tidak diakui.
"Tidak ada yang mau bertanggung jawab," keluhnya. "Baik negara yang menjatuhkan bom, maupun negara yang gagal melindungi kami. Amerika tidak pernah meminta maaf. Jepang pura-pura tidak tahu. Korea pun sama saja. Mereka hanya saling menyalahkan, dan kami dibiarkan sendirian."
Bagi Lee, dampak ledakan itu masih terasa hingga kini. Ia menderita kanker kulit, penyakit Parkinson, dan angina. Lebih menyayat hati lagi, putranya, Ho-chang, juga didiagnosis gagal ginjal, yang ia yakini sebagai akibat paparan radiasi ibunya.
Ironisnya, para penyintas Korea ini justru mengalami diskriminasi dan stigma di kampung halaman mereka sendiri. Mereka dianggap cacat atau terkutuk, dan menghadapi prasangka buruk.
"Di desa kami, beberapa orang memiliki punggung dan wajah yang sangat terluka hingga hanya mata mereka yang terlihat. Mereka ditolak untuk menikah dan dijauhi," kenang Lee.
Setelah pengeboman, warga Korea dipaksa membersihkan mayat dan puing-puing, terpapar radiasi lebih lanjut dengan akses terbatas ke layanan medis. Akibatnya, tingkat kematian di kalangan warga Korea mencapai 57,1%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kematian keseluruhan.
Selama beberapa dekade, pemerintah Korea pun seolah mengabaikan penderitaan para korban bom Hiroshima. Baru pada tahun 2019, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korea merilis laporan pencarian fakta pertamanya.
Han Jeong-sun, generasi kedua penyintas bom Hiroshima, menderita nekrosis avaskular di pinggulnya, dan putra pertamanya lahir dengan cerebral palsy. Ia merasa tidak adil bahwa pihak berwenang terus meminta bukti untuk mengakui dirinya dan putranya sebagai korban Hiroshima.
"Penyakit saya adalah buktinya. Cacat anak saya adalah buktinya. Rasa sakit ini diturunkan dari generasi ke generasi, dan itu terlihat," tegasnya.
Baru-baru ini, pada 12 Juli, para pejabat Hiroshima mengunjungi Hapcheon untuk pertama kalinya dan meletakkan bunga di sebuah monumen peringatan. Namun, Junko Ichiba, seorang aktivis perdamaian Jepang, menekankan bahwa "perdamaian tanpa permintaan maaf tidak ada artinya."
Bagi para penyintas seperti Shim, ini bukan hanya soal kompensasi, tapi tentang pengakuan.
"Ingatan lebih penting daripada kompensasi," katanya. "Tubuh kami mengingat apa yang kami alami. Jika kami lupa, itu akan terjadi lagi. Dan suatu hari, tidak akan ada orang yang tersisa untuk menceritakan kisah ini."