Ironi Sungai Eufrat: Ketika "Emas Palsu" Mengubur Harapan Warga Suriah

Krisis kemanusiaan di Suriah terus memburuk, diperparah oleh perubahan iklim, konflik geopolitik, dan berkurangnya curah hujan. Di tengah kekeringan yang dahsyat, secercah harapan muncul ketika warga melihat kilau kuning di Sungai Eufrat. Mereka bergegas menuju sungai, berharap menemukan emas untuk bertahan hidup.

Kekeringan Memicu Keputusasaan

Suriah menghadapi kekeringan terparah dalam beberapa dekade terakhir. Sektor pertanian lumpuh, ketahanan pangan terancam, dan ratusan ribu warga desa terpaksa mengungsi mencari penghidupan yang lebih baik. Dampak terburuk terlihat di timur laut, di sepanjang Sungai Eufrat yang menyusut hingga titik terendah dalam sejarah.

Penyebabnya kompleks: pembangunan bendungan di Turki, kerusakan infrastruktur irigasi di Suriah, dan curah hujan yang anjlok sejak 2021. Intensitas hujan antara 2021-2023 menjadi yang terendah dalam 35 tahun terakhir.

Harapan Palsu di Dasar Sungai Kering

Ketika Sungai Eufrat surut, kabar tentang batu-batu berkilau di tepi sungai mengering sampai ke Desa Al Bukhamid. Para pemuda bergegas membawa peralatan, berharap menemukan emas yang bisa mengubah hidup mereka.

Namun, yang mereka temukan bukanlah emas, melainkan pirit, mineral yang dikenal sebagai "emas palsu" karena kilauannya yang mirip. Pirit berguna dalam industri, seperti untuk produksi asam sulfat dan penghantar listrik.

Bagi warga desa yang terdesak ekonomi, pirit tetap dikumpulkan, meski bukan emas yang mereka harapkan. Bagi mereka yang mendambakan keajaiban, pirit di dasar Sungai Eufrat justru menjadi simbol kerapuhan hidup di tengah bencana iklim dan kelumpuhan negara.

Sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan kini hanya menyisakan debu dan kesedihan. Bukan kekayaan alam yang ditemukan, melainkan kenyataan pahit bahwa dunia yang mengering membawa lebih banyak kerugian daripada harapan.

Lebih dari Sekadar Perubahan Iklim

Kekeringan ini tak lepas dari faktor politik dan tata kelola air lintas negara. Pembangunan bendungan oleh Turki di hulu Sungai Eufrat dituding mengurangi pasokan air ke Suriah hingga 60 persen.

Ditambah rusaknya jaringan irigasi dan curah hujan yang rendah, wilayah pertanian utama seperti Raqqa, Hasakah, dan Deir ez-Zor kini dalam kondisi kritis. Produksi gandum di ketiga provinsi tersebut turun lebih dari 70 persen, dan lebih dari 1,2 juta hektar lahan pertanian terdampak. Lebih dari 350.000 orang mengungsi akibat kekeringan.

Kondisi ini bukan hanya merusak mata pencaharian petani, tetapi juga memicu krisis kemanusiaan. Jutaan warga terancam terdampak, dengan sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan. Petani kesulitan membeli kebutuhan pertanian, sementara harga pangan melonjak tajam.

Ini bukan sekadar krisis air, melainkan runtuhnya sistem ketahanan hidup masyarakat di pedesaan Suriah.

Scroll to Top