BRASILIA – Brasil dan India menunjukkan kekompakan dalam menghadapi kebijakan Amerika Serikat (AS) yang mengenakan tarif hingga 50% pada produk impor dari kedua negara. Para pemimpin kedua negara menegaskan komitmen mereka terhadap sistem multilateralisme dan perdagangan yang berkeadilan.
Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, dan Perdana Menteri India, Narendra Modi, melakukan percakapan via telepon selama satu jam. Diskusi ini membahas berbagai isu, termasuk prospek ekonomi global dan meningkatnya tensi perdagangan dengan AS.
Pemerintah Brasil menyatakan bahwa kedua pemimpin sepakat mengenai pentingnya menjaga sistem multilateralisme. Selain itu, mereka juga menekankan perlunya menghadapi tantangan global saat ini, serta menjajaki peluang integrasi yang lebih erat antar kedua negara.
Pembicaraan ini menyusul keputusan Presiden AS untuk mengenakan tarif 50% terhadap barang-barang asal Brasil, efektif sejak 30 Juli. Alasan di balik kebijakan ini adalah proses hukum yang tengah berjalan terhadap mantan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, terkait dugaan perencanaan kudeta pasca kekalahannya dalam pemilu 2022.
AS menuduh Brasil melakukan persekusi politik dan menganggap negara tersebut sebagai ancaman bagi keamanan nasional AS. Brasil sendiri mengecam tindakan ini sebagai bentuk intervensi ilegal terhadap urusan internal negara. Dukungan terhadap Brasil datang dari China, yang menyebut tindakan AS sebagai "perundungan".
Tidak hanya Brasil, India juga terkena dampak kebijakan tarif AS. Pemerintah AS mengumumkan tarif 50% untuk impor dari India yang akan berlaku akhir Agustus, dengan alasan aktivitas perdagangan minyak India dengan Rusia. Pemerintah India merespons dengan mengecam langkah tersebut sebagai tindakan yang "tidak adil, tidak dapat dibenarkan, dan tidak masuk akal," serta berjanji untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
AS sebelumnya menuding negara-negara anggota BRICS berupaya melemahkan dominasi dolar AS dan mengancam akan mengenakan tarif tambahan sebesar 10%. Negara-negara BRICS membantah tuduhan tersebut dan berpendapat bahwa kebijakan luar negeri AS justru yang melemahkan mata uang dolar.
BRICS, yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, terus berkembang dan kini melampaui G7 dalam hal total PDB. Indonesia juga telah bergabung dengan kelompok ini.
AS juga mengancam akan menerapkan tarif yang lebih luas terhadap mitra dagang Rusia dengan tujuan menekan Moskow agar menerima gencatan senjata dalam konflik di Ukraina. Rusia menanggapi ancaman tersebut dengan menegaskan bahwa negara-negara berdaulat berhak menentukan mitra dagang mereka sendiri.
Presiden Lula mengungkapkan rencananya untuk mengusulkan KTT BRICS guna mengkoordinasikan respons bersama terhadap tekanan perdagangan dari AS.