Pemerintah Amerika Serikat meningkatkan imbalan menjadi USD50 juta (Rp815,6 miliar) untuk informasi yang mengarah pada penangkapan Presiden Venezuela, Nicolas Maduro. Sebelumnya, hadiah yang ditawarkan adalah USD25 juta.
Maduro diburu atas dakwaan perdagangan narkoba di pengadilan federal AS, meskipun keabsahan dakwaan ini dipertanyakan mengingat kekebalan kepala negara. AS tidak mengakui kemenangan Maduro dalam pemilihan umum Venezuela, namun ia tetap berkuasa.
Jaksa Agung AS, Pam Bondi, menyatakan bahwa Maduro adalah salah satu pengedar narkoba terbesar di dunia dan ancaman bagi keamanan nasional AS.
Pada tahun 2020, di masa pemerintahan Presiden Donald Trump, Maduro dan pejabat tinggi Venezuela lainnya didakwa atas tuduhan, termasuk konspirasi "narko-terorisme". Departemen Kehakiman AS menuduh Maduro memimpin "Kartel Matahari" yang menyelundupkan ratusan ton kokain ke Amerika Serikat selama dua dekade. Kartel ini diduga bekerja sama dengan pemberontak FARC Kolombia dan kartel Sinaloa Meksiko.
DEA mengklaim telah menyita 30 ton kokain terkait Maduro dan rekan-rekannya, dengan hampir tujuh ton terkait langsung dengan Maduro. Pemerintah AS juga telah menyita lebih dari USD700 juta aset terkait Maduro, termasuk dua pesawat pemerintah Venezuela.
Maduro, seorang mantan sopir bus berusia 62 tahun, terancam hukuman penjara seumur hidup jika diadili dan dinyatakan bersalah di pengadilan AS. Ia telah membantah tuduhan tersebut sebagai "palsu dan keliru".
Mantan kepala intelijen Venezuela, Hugo Armando Carvajal, mengaku bersalah atas tuduhan perdagangan narkoba dan narkotika AS, dan menawarkan untuk memberikan dokumen serta kesaksian yang memberatkan Maduro kepada otoritas AS.
Hubungan antara AS dan Venezuela telah memburuk selama bertahun-tahun. Pemerintah AS tidak mengakui Maduro sebagai presiden Venezuela yang terpilih secara sah sejak pemilihan presiden 2018 yang dianggap cacat. Washington telah menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap pemerintahan Maduro.