Anji Manji Kembali Kritik Sistem Royalti Musik Indonesia: Tidak Adil Bagi Pencipta Lagu?

Musisi Anji Manji kembali menyuarakan ketidakpuasannya terhadap sistem pengelolaan royalti musik di Indonesia. Menurutnya, sistem yang ada saat ini belum sepenuhnya berpihak pada para pencipta lagu.

Melalui media sosial, Anji menyoroti metode perhitungan pembayaran royalti yang diterapkan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Ia mempertanyakan keakuratan perhitungan yang didasarkan pada jumlah ruangan dan kursi, bukan pada penggunaan lagu secara aktual.

"LMK membuat aturan membayar royalti dengan perhitungan jumlah ruangan, per kursi, dan semacamnya. Bukan berdasarkan penggunaan lagu," tulis Anji. "Jadi bagaimana membaginya kepada pencipta lagu? Apakah LMK tahu lagu apa saja yang diputar?"

Anji juga menyoroti potensi ketidakadilan dalam sistem ini, terutama untuk lagu-lagu yang mungkin tidak diputar di sebuah tempat usaha. Ia mempertanyakan bagaimana royalti dialokasikan untuk suara-suara latar seperti suara burung atau ambience yang sering digunakan di tempat-tempat seperti rumah sakit atau spa.

Pernyataan Anji ini muncul di tengah perdebatan publik mengenai royalti lagu di ruang usaha seperti kafe, restoran, hotel, pusat perbelanjaan, dan kedai kopi. Sebelumnya, isu pengelolaan royalti juga mencuat terkait hak pertunjukan (performing rights).

Perdebatan semakin memanas setelah muncul kasus hukum yang melibatkan salah satu gerai Mie Gacoan di Bali. Seorang perwakilan manajemen ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran hak cipta karena memutar lagu berlisensi tanpa izin.

Kasus ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku usaha yang tidak ingin mengalami nasib serupa.

Aturan dan Besaran Royalti di Ruang Usaha

Aturan mengenai royalti musik di ruang usaha diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Pengumpulan dan pendistribusian royalti dilakukan oleh LMKN dan sejumlah LMK sektoral seperti WAMI, KCI, RAI, dan lainnya. Besaran royalti bervariasi tergantung pada jenis usaha dan jumlah kursi atau luas ruangan. Untuk restoran dan kafe, tarif umumnya adalah Rp 60.000 per kursi per tahun. Untuk usaha besar seperti waralaba, tarif bisa mencapai Rp 120.000 per kursi per tahun.

Namun, implementasinya seringkali tidak mudah. Banyak pelaku usaha mengaku kurang mendapatkan sosialisasi yang memadai, tidak tahu cara pembayaran, lagu apa saja yang wajib royalti, dan bahkan bingung apakah lagu dari platform streaming seperti YouTube dan Spotify juga termasuk.

Anji menutup pernyataannya dengan harapan bahwa semakin besar perhatian publik terhadap isu royalti ini, semakin jelas pula siapa atau apa yang menjadi sumber masalah dalam tata kelola industri musik Indonesia.

Scroll to Top