Film "Panggil Aku Ayah" berhasil mengadaptasi kisah found family yang menghangatkan hati, serupa dengan film aslinya, Pawn. Bagi penonton yang sudah familiar dengan Pawn, inti cerita film ini mungkin sudah tertebak. Namun, tim produksi, khususnya penulis Rifki Ardisha, berhasil meramu "Panggil Aku Ayah" menjadi tontonan yang sangat relevan dengan konteks Indonesia.
Kedekatan ini bukan sekadar soal bahasa dan latar Indonesia, melainkan interpretasi mendalam tentang hubungan orang tua dan anak, problematika yang dihadapi, serta kehadiran orang-orang tak terduga yang mewarnai hidup. Elemen-elemen inilah yang sukses menyentuh emosi penonton, bahkan membuat mereka meneteskan air mata.
Kekuatan utama film ini terletak pada pendekatan berbeda terhadap dua karakter utamanya, Dedi (Ringgo Agus Rahman) dan Intan kecil alias Pacil (Myesha Lin). Film memberikan waktu yang cukup untuk membangun kedekatan antara dua orang asing ini, terutama bagi Pacil yang awalnya sulit percaya pada laki-laki dewasa yang sempat mengancam keselamatannya dan sang ibu, Rossa (Sita Nursanti).
Proses yang panjang ini disajikan dengan alur yang pas dan tidak membosankan. Perubahan-perubahan yang dialami Pacil, baik disengaja maupun tidak, menjadi kritik sosial terhadap kondisi saat ini. Penonton pun dapat memahami dan merasakan pergeseran hubungan mereka dari orang asing menjadi keluarga.
Kekuatan akting Ringgo Agus Rahman dan Myesha Lin, terutama dalam menyampaikan emosi melalui ekspresi dan tatapan, membuat chemistry Dedi dan Pacil terasa begitu kuat. Interaksi sederhana sehari-hari pun mampu memancing air mata karena penonton mengingat berbagai kesulitan yang telah mereka lalui.
Myesha Lin juga patut dipuji atas perannya sebagai anak yang tampak kuat, namun menyimpan rasa takut ditelantarkan. Setiap langkah yang ia ambil untuk mempercayai Dedi dan Tatang (Boris Bokir) terasa pas secara akting dan timing. Kehadiran Tatang yang jenaka juga berhasil menyeimbangkan suasana haru dalam film ini.
"Panggil Aku Ayah" berani memberikan porsi lebih besar kepada karakter ibu, Rossa, dibandingkan film aslinya, agar kisahnya lebih terhubung dengan situasi di Indonesia. Meski demikian, film ini tetap memiliki catatan.
Ikatan emosional yang kuat antara Pacil, Dedi, dan Tatang terasa pudar ketika Pacil dewasa. Hubungan Dedi dengan Intan dewasa (Tissa Biani) kurang terasa, begitu pula momen klimaks Intan dengan ibunya yang seharusnya emosional justru terasa hambar. Hal ini mungkin disebabkan minimnya interaksi Intan dewasa dengan karakter lain, sehingga muncul kesan asing di antara mereka.
Secara keseluruhan, "Panggil Aku Ayah" menyoroti konsep found family atau chosen family, sekelompok orang yang saling mendukung dan menyayangi, terlepas dari ikatan darah. Film ini juga menyoroti berbagai isu penting, seperti perjuangan seorang ibu, absennya peran ayah (fatherless generation), predator anak, penculikan, hingga pekerja anak.
"Panggil Aku Ayah" mengingatkan penonton bahwa tidak ada orang tua dan anak yang sempurna di dunia ini, melalui kisah yang menyentuh hati dan sedikit sentuhan komedi.