Isu royalti musik belakangan ini menimbulkan kebingungan di masyarakat. Muncul kekhawatiran, apakah menyanyi di acara pribadi seperti ulang tahun atau pernikahan juga akan dikenakan biaya royalti?
Kabar baiknya, menurut pakar hukum yang terlibat dalam penyusunan Undang-Undang Hak Cipta, membawakan lagu di acara non-komersial seperti hajatan atau acara keluarga tidak termasuk dalam kategori yang mewajibkan pembayaran royalti. Kegiatan tersebut justru dianggap sebagai promosi gratis bagi lagu tersebut.
Undang-undang Hak Cipta mendorong masyarakat untuk menyanyikan lagu sebanyak mungkin. Namun, jika lagu tersebut digunakan untuk tujuan komersial, seperti konser atau acara berbayar lainnya, barulah royalti wajib dibayarkan kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga menyebutkan bahwa penggunaan atau penggandaan hak cipta tidak dianggap sebagai pelanggaran jika dilakukan untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, atau kegiatan pemerintahan, asalkan sumbernya disebutkan dengan lengkap. Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut biaya pun dikecualikan, selama tidak merugikan pencipta lagu.
Lagu kebangsaan juga memiliki aturan khusus. Meskipun pada dasarnya tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika dibawakan dalam berbagai acara, pengkomersialisasian lagu kebangsaan (misalnya dalam bentuk orkestra yang dijual dalam CD) memerlukan izin dari pemerintah.
Contoh Penghitungan Royalti untuk Usaha Komersial
Penagihan royalti didasarkan pada kegiatan komersial. Misalnya, sebuah kafe kecil dengan 20 kursi yang memutar lagu untuk pelanggannya wajib membayar royalti. Tarif untuk restoran dan kafe adalah Rp120 ribu per kursi per tahun untuk hak pencipta dan hak terkait. Jadi, kafe tersebut harus membayar royalti sebesar Rp2,4 juta per tahun (belum termasuk pajak). Tarif ini diatur dalam Surat Keputusan Menteri tentang Tarif Royalti Musik dan Lagu untuk Pengguna sejak tahun 2016.