PPATK Pantau Ketat E-Wallet Terkait Judi Online, Pemblokiran Rekening Belum Jadi Prioritas

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menaruh perhatian serius terhadap indikasi penggunaan e-wallet dalam transaksi yang terkait dengan aktivitas ilegal, seperti judi online.

Meskipun demikian, Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyatakan bahwa pemblokiran transaksi e-wallet bukanlah langkah yang akan diambil dalam waktu dekat, berbeda dengan pemblokiran besar-besaran terhadap 122 juta rekening tidak aktif di 105 bank yang dilakukan antara Mei dan Juli 2025. "Kami sudah mengamati risiko e-wallet," ujar Ivan.

Menurut Deputi Bidang Analisis dan Pemeriksaan PPATK, Danang Tri Hartono, pemantauan terhadap risiko e-wallet sebagai wadah penampung dana judi online masih terus dilakukan. Hal ini disebabkan karena saldo yang ditemukan pada e-wallet cenderung kecil dan bersifat tidak aktif atau tanpa transaksi debit yang signifikan. "Biasanya hanya Rp 5 ribu atau Rp 10 ribu. Target kami bukan pemain, melainkan menghentikan depositnya," jelas Danang.

Dengan demikian, PPATK saat ini fokus pada pencermatan risiko e-wallet sebagai tempat penyimpanan sementara dana judi online. "Kita lihat dulu risikonya. Sekarang, kripto juga bisa diperjualbelikan, itu juga mengkhawatirkan," tambah Danang.

Sebagai informasi tambahan, PPATK telah berhasil menyelesaikan pemblokiran 122 juta rekening tidak aktif (tanpa transaksi debit selama 1-5 tahun) di 105 bank.

Dari hasil analisis yang dilakukan sejak Februari 2025 dan pemblokiran bertahap yang dimulai pada 16 Mei 2025 hingga Juli dan Agustus 2025, ditemukan 1.155 rekening yang terindikasi digunakan untuk kegiatan ilegal. Rekening-rekening ini telah tidak melakukan transaksi debit selama 1-5 tahun.

Total dana yang terakumulasi dalam 1.155 rekening tersebut mencapai lebih dari Rp 1,15 triliun. Sebagian besar dana tersebut terkait dengan perjudian (517 rekening dengan nominal Rp 548,27 miliar) dan korupsi (280 rekening dengan nominal Rp 540,68 miliar).

Selain itu, ditemukan juga transaksi yang terkait dengan cybercrime (96 rekening dengan nominal Rp 317,5 juta), pencucian uang (67 rekening dengan nominal Rp 7,29 miliar), narkotika (65 rekening dengan nilai Rp 4,82 miliar), dan penipuan (50 rekening dengan nominal Rp 4,98 miliar).

Tindak pidana lainnya yang ditemukan meliputi perpajakan (20 rekening dengan nominal Rp 743,43 juta), penggelapan (16 rekening dengan saldo sebesar Rp 31,31 triliun), terorisme (3 rekening senilai Rp 539,35 juta), penyuapan (2 rekening Rp 5,13 juta), dan perdagangan orang (7 rekening senilai Rp 22,83 juta).

Scroll to Top