Jakarta – Peran krusial perempuan dalam mencegah penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di lingkungan keluarga dan masyarakat semakin ditegaskan, mengingat posisi mereka sebagai pengambil keputusan utama dalam rumah tangga.
Dokter spesialis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menekankan bahwa perempuan seringkali menjadi motor penggerak aksi preventif, baik di tingkat keluarga maupun komunitas. Pencegahan DBD perlu dilakukan secara komprehensif melalui strategi 3M Plus, perlindungan diri, serta inovasi seperti vaksinasi yang direkomendasikan oleh para ahli medis.
Data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hingga minggu ke-25 tahun ini, tercatat 79.843 kasus DBD dengan 359 kematian. Pada tahun sebelumnya, jumlah kasus mencapai 257.455 dengan 1.461 kematian, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kontribusi kasus dan kematian tertinggi akibat DBD di kawasan ASEAN.
Orang dewasa dengan penyakit penyerta seperti hipertensi, obesitas, diabetes, penyakit ginjal, dan paru-paru memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami DBD yang lebih parah. Edukasi kesehatan yang memberdayakan perempuan sangat penting untuk melindungi keluarga dari ancaman penyakit ini.
Anak-anak, terutama yang berusia 5-14 tahun, juga termasuk kelompok yang sangat rentan terhadap DBD. Infeksi DBD yang kedua pada anak-anak justru berpotensi menimbulkan gejala yang lebih serius. Oleh karena itu, pencegahan menjadi kunci utama karena hingga saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk mengatasi DBD.
Gejala DBD meliputi demam tinggi, sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot dan sendi, serta ruam pada kulit. Fase kritis terjadi ketika demam mulai menurun, namun justru berisiko memicu syok dengue jika tidak segera mendapatkan penanganan medis yang tepat.
Sebuah perusahaan farmasi menegaskan komitmennya untuk mendukung upaya pencegahan DBD, termasuk melalui edukasi yang ditujukan kepada perempuan sebagai garda terdepan penjaga kesehatan keluarga.