Mal Mendadak Sepi: Efek Royalti Musik Bikin Pengusaha Gigit Jari

Jakarta digegerkan dengan fenomena baru: mal-mal yang biasanya ramai dengan alunan musik kini mendadak hening. Penyebabnya bukan gangguan teknis, melainkan isu royalti musik yang membuat para pengusaha pusat perbelanjaan waspada.

Semuanya bermula dari kasus sebuah jaringan restoran mie terkenal di Bali yang dituntut membayar royalti hingga miliaran rupiah karena memutar musik di gerainya. Hal ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, yang mempertanyakan apakah biaya dan risiko hukum memutar musik sebanding dengan manfaatnya.

Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) bahkan menginstruksikan seluruh anggotanya untuk mematikan musik di gerai mereka. Menurut Ketua Umum HIPPINDO, langkah ini diambil karena negosiasi tarif royalti dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menemui jalan buntu. HIPPINDO merasa tarif yang ditawarkan LMKN terlalu tinggi dan tidak realistis.

Selain itu, HIPPINDO juga mempermasalahkan kewajiban membayar royalti untuk jingle yang mereka produksi sendiri. Padahal, semua biaya produksi, termasuk honor penyanyi, pencipta lagu, dan hak cipta, sudah dilunasi.

Dampak instruksi hening ini langsung terasa di lapangan. Di beberapa mal besar di Jakarta, suasana yang dulunya riang kini sunyi senyap. Suara musik digantikan oleh langkah kaki pengunjung dan obrolan yang sayup-sayup terdengar. Beberapa restoran pun ikut menerapkan kebijakan serupa, menciptakan atmosfer yang tak biasa.

Namun, tidak semua brand mengikuti tren ini. Beberapa toko pakaian olahraga tetap memutar musik hip hop internasional, sementara toko buku ternama konsisten dengan playlist slow yang menenangkan. Mereka seolah menjadi oase di tengah keheningan pusat perbelanjaan.

Inti permasalahan sebenarnya bukan pada keinginan pelaku usaha untuk membayar royalti, melainkan pada mekanisme penentuan tarif dan ruang negosiasi. Pelaku usaha berpendapat, jika tarif terlalu tinggi dan tidak ada dialog yang konstruktif, maka wajar jika banyak pihak memilih untuk mematikan musik.

Hingga tercapai kesepakatan antara pelaku usaha dan LMKN, tampaknya pemandangan mal tanpa musik akan menjadi hal yang lumrah. Pertanyaannya, apakah masyarakat akan terbiasa berbelanja dalam keheningan?

Scroll to Top