Musisi Ahmad Dhani kembali menyuarakan pendapatnya terkait sistem royalti yang diterapkan oleh Wahana Musik Indonesia (WAMI), khususnya mengenai pengenaan tarif royalti untuk acara hajatan. Dhani mempertanyakan efektivitas dan keadilan sistem tersebut.
"Ini siapa sih yang bikin sistem kok ancur banget," tulis Dhani di akun media sosialnya, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sistem yang menurutnya merugikan para komposer.
Dhani, yang selama ini dikenal sebagai pejuang hak-hak komposer, menekankan bahwa royalti seharusnya dikenakan pada penyanyi yang menggelar konser berbayar atau pertunjukan komersial. Ia bahkan secara terbuka mempersilakan karyanya untuk dibawakan di kafe-kafe atau oleh pengamen tanpa perlu izin.
"Kecuali nyanyi di kafe enggak dibayar, enggak apa-apa, enggak usah izin," ujarnya, menambahkan bahwa ia justru senang jika lagu Dewa 19 dinyanyikan di kafe.
Pemicu kritik Dhani adalah pernyataan perwakilan WAMI mengenai pengenaan tarif royalti untuk musik di acara pernikahan. Hal ini kemudian memicu perdebatan di kalangan pelaku industri musik dan masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof Ahmad M Ramli, menjelaskan bahwa kegiatan non-komersial seperti menyanyi di acara keluarga atau hajatan seharusnya tidak dikenakan royalti. Menurutnya, kegiatan tersebut justru menjadi media promosi gratis bagi lagu tersebut.
Ramli, yang terlibat dalam perancangan Undang-undang Hak Cipta, menegaskan bahwa royalti wajib dibayarkan jika musik dibawakan untuk tujuan komersial, seperti konser berbayar atau acara yang disponsori.
Dengan demikian, polemik mengenai royalti musik di acara hajatan kembali mencuat, memicu diskusi tentang batasan antara kegiatan komersial dan non-komersial dalam konteks hak cipta.