Nilai tukar rupiah menunjukkan tren positif terhadap dolar AS sejak awal Agustus 2025. Sempat menyentuh titik terendah di Rp16.505/US$ pada tanggal 1 Agustus, rupiah berhasil berbalik arah dan terus menguat.
Pada perdagangan 14 Agustus 2025, rupiah bahkan sempat mencapai Rp16.090/US$ secara intraday, level terkuat sejak awal tahun. Secara keseluruhan, rupiah telah menguat 2,51% dari titik terlemahnya di awal bulan.
Salah satu faktor utama pendorong penguatan rupiah adalah meningkatnya ekspektasi pasar bahwa The Federal Reserve (The Fed) akan menurunkan suku bunga acuannya pada bulan September. Berdasarkan data, peluang penurunan sebesar 25 basis poin di bulan tersebut telah meningkat signifikan menjadi 95,8%. Optimisme ini diperkuat oleh data inflasi AS bulan Juli yang lebih rendah dari perkiraan, serta indikasi pelemahan di pasar tenaga kerja AS.
Selain itu, melemahnya indeks dolar AS (DXY) turut memberikan sentimen positif, mendorong investor untuk meningkatkan investasi pada aset berisiko di pasar negara berkembang. Hal ini semakin memperkuat momentum positif bagi rupiah, didukung oleh fundamental ekonomi domestik yang relatif stabil.
Dengan posisi rupiah yang semakin mendekati level psikologis Rp16.000/US$, muncul pertanyaan, mampukah rupiah menembus batas tersebut dan kembali ke area Rp15.000an?
Proyeksi Ekonom Mengenai Peluang Rupiah
Sejumlah ekonom memprediksi bahwa tren penguatan rupiah masih berpeluang berlanjut hingga akhir tahun, didorong oleh sentimen global dan kondisi ekonomi domestik yang kuat.
Ahmad Mikail dari Sucor Sekuritas, meyakini rupiah masih berpotensi menguat hingga menembus kisaran Rp15.500-Rp15.800 per dolar AS tahun ini. Keyakinan ini didasari oleh ekspektasi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan hingga 150 basis poin sepanjang tahun 2025. Bahkan, pelaku pasar di Wall Street saat ini memperkirakan pemangkasan agresif sebesar 50 basis poin pada pertemuan bulan September. Penurunan suku bunga AS yang signifikan akan mendorong surplus ekspor Indonesia yang selama ini disimpan di luar negeri untuk kembali masuk.
Rully Wisnubroto dari Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menilai bahwa faktor global menjadi pendorong utama penguatan rupiah saat ini. Ia menyoroti keyakinan pasar yang hampir mencapai 100% bahwa The Fed akan menurunkan Fed Funds Rate pada bulan September, baik sebesar 25 basis poin maupun 50 basis poin. Untuk akhir tahun, Rully memperkirakan rupiah berada di sekitar Rp16.150 per dolar AS.
David Sumual dari BCA, menambahkan bahwa pelemahan tajam indeks dolar AS (DXY) dalam beberapa hari terakhir telah memberikan sentimen positif bagi rupiah. Ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed pada bulan September menjadi pemicu utama masuknya aliran modal asing ke Indonesia.
Sementara itu, Josua Pardede dari Bank Permata, menilai bahwa penguatan tajam rupiah belakangan ini dipicu oleh kombinasi faktor eksternal dan domestik. Dari sisi eksternal, pelemahan dolar AS terjadi akibat ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed pada bulan September, bahkan dengan peluang 50 basis poin seperti yang disampaikan oleh pejabat tinggi AS.
Josua menjelaskan, data inflasi inti AS yang lebih rendah dari perkiraan memperkuat pandangan dovish ini, sehingga mendorong investor untuk beralih dari aset dolar ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dari sisi domestik, pasar obligasi dan saham Indonesia mencatat aliran dana asing yang besar. Lelang Surat Utang Negara (SUN) terbaru mencatatkan penawaran hingga Rp162,3 triliun, yang merupakan rekor tertinggi sejak tahun 2016. Minat asing yang tinggi pada pasar obligasi Indonesia dan stabilitas imbal hasil obligasi 10 tahun RI di kisaran 6,41% membuat carry trade semakin menarik.
Untuk proyeksi ke depan, Josua melihat peluang rupiah untuk menguji level psikologis Rp16.000 per dolar AS dalam jangka pendek, selama momentum arus modal masuk tetap kuat dan volatilitas global rendah. Namun, tetap ada risiko jika data ekonomi AS berubah arah atau ketegangan geopolitik memicu aksi risk-off.