Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025: Antara Data dan Realita, Ada Apa?

Pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,12% secara year-on-year (yoy) menuai sorotan. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menganggap angka ini anomali atau janggal, mengingat inkonsistensi dengan sejumlah indikator ekonomi makro.

Salah satu kejanggalan terletak pada konsumsi rumah tangga, komponen penyumbang terbesar PDB. Meski tumbuh, lajunya lebih tinggi dibandingkan kuartal I-2025 yang notabene memiliki faktor musiman Ramadan dan Lebaran. Padahal, setoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN), indikator yang lazimnya sejalan dengan konsumsi, justru mengalami penurunan signifikan.

"Kita tidak menemukan korelasi antara pertumbuhan konsumsi yang tinggi dengan penerimaan PPN," ungkap perwakilan LPEM FEB UI.

Selain konsumsi, investasi juga menjadi sorotan. Data Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) menunjukkan pertumbuhan positif, namun bertolak belakang dengan Purchasing Manager’s Index (PMI) yang terkontraksi dan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang melemah. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, karena secara teoritis, ekspektasi ekonomi yang melambat seharusnya mendorong masyarakat untuk menahan konsumsi barang tahan lama dan lebih memilih menabung.

Lebih lanjut, di tengah data investasi yang menggembirakan, justru terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang signifikan. Data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat ratusan ribu pekerja terkena PHK selama semester pertama 2025. Ketidaksesuaian antara data ekonomi dan realita di lapangan ini dikhawatirkan akan mempengaruhi ekspektasi dan keputusan pelaku usaha.

LPEM FEB UI menduga BPS mungkin menggunakan metodologi perhitungan PDB yang baru atau memiliki data internal yang belum dipublikasikan. Apapun alasannya, transparansi mengenai perubahan metodologi atau data tambahan ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap data pemerintah.

Kurangnya kepercayaan pada data ekonomi dapat berdampak negatif, tidak hanya bagi pelaku ekonomi domestik, tetapi juga bagi investor asing. Selain itu, data yang tidak akurat dapat mengakibatkan kebijakan ekonomi yang keliru dan pemborosan anggaran negara.

Oleh karena itu, pemerintah perlu segera mengatasi masalah ini dengan memberikan penjelasan yang komprehensif dan transparan kepada publik, sehingga kebijakan ekonomi yang diambil benar-benar sesuai dengan kondisi riil di lapangan.

Scroll to Top