WAMI Klaim Transparansi dan Audit Rutin dalam Pengelolaan Royalti Musik

Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Wahana Musik Indonesia (WAMI) menanggapi seruan berbagai pihak yang meminta transparansi dan audit terkait royalti.

WAMI, salah satu LMK yang telah ada sebelum LMKN terbentuk pada 2014, menyatakan audit keuangan dan administrasi rutin telah dilakukan sebagai bagian dari tata kelola manajemen penarikan royalti. Di Indonesia, terdapat 15 LMK yang terdiri dari 6 LMK Hak Cipta (Pencipta Lagu/Komposer), 8 LMK Hak Terkait (Produser dan Pelaku Pertunjukan), serta satu LMK untuk produser fonogram.

Adi Adrian, Presiden Director WAMI, menegaskan bahwa audit rutin dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan, sebagai komitmen untuk menjaga kepercayaan pencipta dan menjamin iklim industri musik yang sehat.

WAMI mengklaim hasil audit dipublikasikan di media cetak dan dapat diakses di situs resmi mereka. Pantauan menunjukkan WAMI terakhir melaporkan kegiatan termasuk pembagian royalti dalam Laporan Tahunan 2023, sementara Laporan Keuangan aset mereka adalah per 2024.

Laporan Tahunan tersebut memberikan gambaran umum dan statistik terkait distribusi royalti yang dilakukan WAMI, namun tidak merinci nama penerima royalti atau jumlahnya, maupun acara-acara yang sudah atau belum membayar royalti.

WAMI juga menyertakan Laporan Keuangan yang diaudit oleh firma Forvis Mazars di situs mereka. WAMI mengklaim telah bekerja sama dengan firma tersebut sejak 2022 hingga terakhir kali pada 2024.

Adi Adrian menambahkan bahwa laporan keuangan WAMI selalu mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sejak audit dilakukan secara rutin. Hal ini menunjukkan pengelolaan keuangan WAMI dilakukan sesuai standar akuntansi yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

WAMI menyatakan diri selalu terbuka dan patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta menganggap keterbukaan sebagai kunci membangun kepercayaan.

Sebelumnya, kelompok penyanyi yang tergabung dalam Vibrasi Suara Indonesia (VISI) dan Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) meminta LMKN dan LMK untuk transparan terkait royalti musik.

Permintaan tersebut disampaikan dalam surat terbuka yang menanggapi pelantikan jajaran komisioner Lembaga Manajemen Kolektif (LMKN) periode 2025-2028.

PP Nomor 56 Tahun 2021 mendasarkan penarikan royalti musik di Indonesia pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta), yang dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN bertugas menarik royalti dari pihak yang menggunakan lagu secara komersial, dan berkoordinasi dengan LMK yang bertugas membagikan royalti kepada musisi yang mereka naungi.

VISI dan FESMI menekankan perbaikan sistem menuju digitalisasi sangat diperlukan, namun kesungguhan juga dapat dilihat dari respons cepat atas tugas-tugas utama LMKN dan LMK, yaitu distribusi royalti. Mereka meminta distribusi yang adil dengan audit yang baik dan informasi yang transparan ke publik, sembari membenahi sistem pendataan royalti.

Scroll to Top