Kuala Lumpur – Kasus kematian tragis Zara Qairina Mahathir, seorang remaja putri berusia 13 tahun, memicu perhatian luas di Malaysia. Kantor Jaksa Agung Malaysia telah menginstruksikan investigasi menyeluruh terkait insiden ini, sebuah langkah yang disambut positif oleh Sabah Law Society (SLS).
Datuk Mohamed Nazim Maduarin, Presiden SLS, menyatakan komitmen lembaganya untuk mengawasi dengan seksama proses penyelidikan dan langkah hukum selanjutnya demi kepentingan publik. "Kami siap berkolaborasi dengan seluruh pihak terkait di Sabah untuk memastikan tragedi ini memicu perubahan signifikan dalam perlindungan anak-anak dari ancaman bahaya," tegasnya.
SLS juga mendukung permintaan tim hukum keluarga Zara agar Jaksa Agung mempertimbangkan tuntutan berdasarkan undang-undang anti-perundungan yang baru diberlakukan, jika bukti yang ada mendukungnya.
Mohamed Nazim menjelaskan bahwa penyelidikan ini merupakan proses peradilan independen yang bertujuan untuk mengungkap penyebab dan detail seputar kematian Zara, mengidentifikasi kemungkinan adanya unsur pidana, dan memastikan semua fakta relevan terungkap.
Kematian Zara telah menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat, dengan spekulasi yang beredar mengenai dugaan perundungan dan keterlibatan keluarga "VIP" berpengaruh, meski belum terverifikasi. Bahkan, muncul tudingan adanya upaya untuk menutupi kasus ini oleh pihak berwenang.
Zara ditemukan dalam kondisi tidak sadar pada 16 Juli, antara pukul 03.00 hingga 04.00 waktu setempat, setelah diduga terjatuh dari lantai 3 asramanya. Ia adalah siswi kelas satu di Sekolah Menengah Kebangsaan Agama (SMKA) Tun Datu Mustapha di Papar, Sabah. Setelah dilarikan ke Rumah Sakit Queens Elizabeth I, ia dinyatakan meninggal dunia pada 17 Juli. Jenazahnya dimakamkan tanpa dilakukan autopsi oleh pihak rumah sakit.
Sebuah rekaman suara yang viral di media sosial mengungkapkan percakapan Zara dengan ibunya, di mana ia menyampaikan ketakutannya terhadap seorang siswi senior bernama "Kak M" yang disebut memusuhi dan mengancamnya.
Mohamed Nizam menekankan bahwa hasil penyelidikan akan menjadi dasar bagi Jaksa Agung untuk menentukan apakah penuntutan perlu dilakukan. "Kami mengingatkan masyarakat bahwa keputusan untuk melakukan penuntutan akan bergantung pada temuan investigasi dan kecukupan bukti hukum," jelasnya, seraya menekankan pentingnya menjaga integritas proses peradilan.
"Kami ingin menegaskan bahwa perundungan, baik secara fisik, verbal, psikologis, maupun online, tidak memiliki tempat di lingkungan mana pun, terutama di sekolah," pungkas Mohamed Nizam.