Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR memperingati HUT RI ke-80, menyoroti sejumlah anomali yang terjadi dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Pidato yang berlangsung lebih dari satu jam itu, menjadi momentum bagi Presiden untuk mengkritisi arah pembangunan ekonomi bangsa.
Prabowo mengakui bahwa Indonesia, sebagai negara kaya sumber daya alam, justru mengalami berbagai permasalahan mendasar. Salah satu ‘keanehan’ yang disinggung adalah paradoks kelangkaan minyak goreng, meski Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Tak hanya itu, Presiden juga mempertanyakan efektivitas berbagai subsidi, mulai dari pupuk, alat pertanian, hingga beras. Menurutnya, meskipun subsidi digelontorkan, harga pangan tetap sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat.
Prabowo meyakini bahwa akar permasalahan ini terletak pada distorsi dalam sistem ekonomi Indonesia. Ia menyoroti pengabaian terhadap amanat UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 1 hingga 4, yang mengatur prinsip-prinsip dasar ekonomi kerakyatan. Pasal-pasal tersebut menekankan pentingnya usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, penguasaan cabang-cabang produksi strategis oleh negara, pemanfaatan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, serta penyelenggaraan ekonomi nasional berdasar demokrasi ekonomi.
Menurut Prabowo, ketidakpatuhan terhadap UUD 1945 telah memicu pertumbuhan ekonomi yang timpang dan tidak berkualitas. Ia mengakui bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi selama tujuh tahun terakhir hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Situasi ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara angka pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen dengan kondisi riil yang dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia.