Hizbullah mengeluarkan peringatan keras, menyatakan bahwa Lebanon berisiko terjerumus ke dalam perang saudara. Pemicunya adalah upaya pelucutan senjata yang tengah digencarkan terhadap kelompok tersebut. Pemimpin Hizbullah, Naim Qassem, dengan tegas menolak tuntutan pelucutan senjata, bahkan siap mengangkat senjata untuk mempertahankan persenjataan mereka.
Qassem menuduh pemerintah Lebanon tunduk pada tekanan Israel dan Amerika Serikat, yang berupaya melemahkan perlawanan dengan cara melucuti senjata Hizbullah. Menurutnya, tindakan ini sama saja dengan menyerahkan negara kepada musuh. Ia menegaskan bahwa Hizbullah tidak akan menyerahkan senjatanya selama agresi dan pendudukan terus berlanjut. Kelompok ini siap melawan proyek Amerika-Israel, berapa pun harga yang harus dibayar.
Desakan ini muncul di tengah tekanan kuat dari Amerika Serikat dan pemerintah Lebanon, yang telah memerintahkan militer untuk menyusun rencana pelucutan senjata Hizbullah pada akhir tahun ini. Selain itu, sekutu utama Hizbullah, Iran, juga tengah menghadapi serangkaian kemunduran, termasuk serangan terhadap fasilitas nuklirnya.
Kondisi ekonomi Lebanon sendiri saat ini masih jauh dari stabil. Pada tahun 2023, Produk Domestik Bruto (PDB) Lebanon tercatat sebesar US$ 20,08 miliar, atau sekitar Rp 325 triliun. Angka ini mencerminkan hanya 0,02% dari total ekonomi dunia. PDB Lebanon pernah mencapai puncak tertinggi sebesar US$ 54,90 miliar pada tahun 2018, namun juga pernah menyentuh titik terendah sebesar US$ 2,72 miliar pada tahun 1989. Peringatan Hizbullah ini menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi Lebanon saat ini.