Isu royalti musik kembali menghangat dan memicu kebingungan di berbagai kalangan. Mulai dari musisi, pemilik usaha kafe dan hotel, hingga calon pengantin, semua terkena dampak dari aturan yang dianggap kontroversial ini.
Baru-baru ini, Wahana Musik Indonesia (WAMI) menyatakan bahwa pemutaran lagu di acara pernikahan wajib dikenakan royalti. Mereka menjelaskan bahwa setiap penggunaan musik di ruang publik, termasuk acara pernikahan, harus menghormati hak cipta pencipta lagu. Pembayaran royalti ini nantinya akan disalurkan kepada komposer melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Beberapa vendor pernikahan bahkan mengalami pembatalan order karena klien enggan membayar royalti tambahan.
Namun, Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Otto Hasibuan, memberikan klarifikasi. Menurutnya, royalti hanya bisa ditagih jika acara tersebut bersifat komersial. Jika pernikahan atau hajatan tidak ada unsur jual beli, maka pemutaran lagu bebas dari royalti.
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) juga menyampaikan keluhannya. Mereka menganggap tarif royalti yang bervariasi dapat menimbulkan masalah. Tarif untuk resto dan kafe yang diperkirakan mencapai Rp 120 ribu per kursi per tahun dianggap terlalu tinggi dan menimbulkan pertanyaan, apakah tarif tersebut sudah mencakup semua pengguna musik seperti mal, karaoke, resto, dan kafe.
PHRI juga mengkritik cara pemungutan royalti oleh LMKN dan LMK. Mereka menilai penagihan dilakukan secara sepihak, bahkan terkesan seperti "premanisme". Mereka menyoroti bahwa penagihan seringkali dilakukan mundur sejak Undang-Undang Hak Cipta berlaku, tanpa adanya kontrak atau perjanjian yang jelas.