Mantan kepala intelijen militer Israel, Aharon Haliva, menimbulkan kontroversi dengan komentarnya mengenai jumlah korban tewas di Jalur Gaza. Haliva, yang mengundurkan diri setelah kegagalan intelijen dalam mencegah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, menyatakan bahwa jatuhnya 50.000 korban jiwa di Gaza "diperlukan" dan "dibutuhkan" demi generasi mendatang.
Dalam rekaman audio yang beredar, Haliva menekankan perlunya warga Palestina menghadapi "Nakba sesekali." Ia berpendapat bahwa untuk setiap korban jiwa dalam serangan 7 Oktober, 50 warga Palestina harus kehilangan nyawa. Menurutnya, tindakan ini bukan didorong oleh balas dendam, melainkan sebagai pesan bagi generasi mendatang di Gaza, yang ia sebut sebagai "lingkungan yang terganggu."
Lebih lanjut, Haliva mengungkapkan bahwa Israel sebenarnya memiliki rencana untuk melenyapkan Hamas setelah perang tahun 2014, namun rencana tersebut tidak pernah dijalankan. Ia mengklaim bahwa konflik Israel-Palestina adalah inti masalahnya, dan beberapa pihak, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, menganggap keberadaan Hamas menguntungkan Israel. Menurut pandangan Smotrich, jika seluruh wilayah Palestina tidak stabil dan kacau, maka negosiasi perdamaian akan menjadi mustahil. Haliva menambahkan bahwa tujuan utama adalah membubarkan Otoritas Palestina dan membiarkan Hamas menguasai Tepi Barat, seperti yang terjadi di Gaza.
Haliva juga mengungkapkan bahwa Israel berupaya menciptakan lingkungan politik yang tidak kondusif di Tepi Barat yang diduduki, dengan harapan kelompok seperti Hamas akan mengambil alih kekuasaan. Dengan demikian, komunitas internasional akan enggan berinteraksi dengan mereka, sehingga menggagalkan gagasan solusi dua negara.
Sejak serangan 7 Oktober 2023, Israel telah menggempur Jalur Gaza secara intensif, menyebabkan lebih dari 61.000 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, kehilangan nyawa. Aksi militer ini juga memaksa seluruh penduduk Gaza, yang berjumlah 2,3 juta orang, untuk mengungsi berkali-kali.