Pemerintah berencana mengalokasikan dana sebesar Rp 599,44 triliun pada tahun 2026 untuk membayar bunga utang negara. Jumlah ini menunjukkan peningkatan sebesar 8,6% dibandingkan dengan proyeksi pembayaran bunga utang pada tahun 2025.
Menurut dokumen RAPBN 2026, mayoritas pembayaran bunga utang tersebut berasal dari utang dalam negeri, mencapai Rp 538,70 triliun. Sementara itu, pembayaran bunga utang luar negeri diperkirakan sebesar Rp 60,74 triliun.
Meskipun terjadi peningkatan, pertumbuhan pembayaran bunga utang ini lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2025, pertumbuhan pembayaran bunga utang mencapai 13% dibandingkan realisasi pembayaran pada tahun 2024.
Pembayaran bunga utang mencakup berbagai komponen, seperti kupon Surat Berharga Negara (SBN), bunga pinjaman, dan biaya lain yang terkait dengan pengelolaan utang. Fluktuasi besaran pembayaran beban bunga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Volatilitas nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan perubahan tingkat suku bunga menjadi faktor risiko utama yang memengaruhi beban bunga. Sentimen pasar terhadap instrumen SBN, volume kebutuhan pembiayaan anggaran, dan kondisi perekonomian terkini juga turut berperan.
Pemerintah berkomitmen untuk mengelola pembayaran bunga utang secara efisien dan terkendali melalui kebijakan pengelolaan utang yang prudent, terukur, dan berbasis manajemen risiko. Strategi pembiayaan dirancang dengan mempertimbangkan keseimbangan antara biaya utang dan tingkat risiko, untuk menghindari beban fiskal yang berlebihan dalam jangka pendek maupun panjang.
Untuk menjaga beban bunga tetap terkendali, pemerintah akan memprioritaskan sumber pembiayaan yang efisien dan mengoptimalkan struktur portofolio utang, baik dari sisi tenor maupun jenis instrumen. Hal ini bertujuan untuk menekan volatilitas biaya utang akibat perubahan suku bunga pasar.