Amerika Serikat secara tak terduga melayangkan kecaman terhadap Israel terkait ketegangan yang berkelanjutan di Timur Tengah. Utusan AS, Tom Barrack, dengan tegas meminta pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menghormati kesepakatan gencatan senjata yang mengakhiri konflik dengan Hizbullah. Desakan ini muncul seiring dengan upaya pemerintah Lebanon untuk melucuti senjata kelompok tersebut.
Sesuai perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati, penggunaan amunisi di wilayah Lebanon seharusnya dibatasi, hanya diperuntukkan bagi angkatan bersenjata negara, bukan kelompok-kelompok tertentu. Selain itu, Israel memiliki kewajiban untuk menarik seluruh pasukannya dari wilayah Lebanon, meskipun hingga kini masih mempertahankan pasukan di lima titik perbatasan yang dianggap strategis.
"Saya rasa pemerintah Lebanon telah melakukan bagian mereka," ujar Barrack usai pertemuannya dengan Presiden Lebanon, Joseph Aoun, di Beirut. "Mereka telah mengambil langkah pertama. Sekarang, yang kita butuhkan adalah Israel untuk memberikan respons yang setara," imbuhnya.
Inisiatif Barrack ini bukan kali pertama. Usulan serupa telah ia sampaikan pada bulan Juni sebelumnya, dan ia kembali melakukan pembicaraan lanjutan pada tanggal 7 dan 8 Juli.
Rencana yang diusung Barrack mencakup 11 tujuan utama, termasuk penerapan Perjanjian Taif 1989, sebuah kesepakatan rekonsiliasi nasional Lebanon, sejalan dengan konstitusi dan resolusi Dewan Keamanan PBB. Terutama Resolusi 1701, yang mengakhiri perang antara Israel dan Hizbullah pada tahun 2006.
Rencana tersebut juga menyerukan penguatan kedaulatan penuh negara atas seluruh wilayah Lebanon, memperkuat lembaga-lembaga resmi, menetapkan otoritas eksklusif negara dalam pengambilan keputusan terkait perang dan damai, serta memastikan bahwa kepemilikan senjata hanya berada di tangan pasukan negara.
Konflik lintas batas antara Israel dan Hizbullah yang dimulai pada Oktober 2023, meningkat menjadi perang skala penuh pada September 2024. Tragisnya, sekitar 4.000 orang, termasuk pemimpin Hizbullah, Hasan Nasrallah, dilaporkan tewas, dan sekitar 17.000 lainnya mengalami luka-luka.
Gencatan senjata sempat hampir tercapai pada November 2024. Namun, pasukan Israel terus melancarkan serangan hampir setiap hari di wilayah Lebanon selatan, dengan alasan menargetkan aktivitas Hizbullah.
Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata, Israel seharusnya menarik diri sepenuhnya dari Lebanon selatan pada tanggal 26 Januari 2025. Namun, batas waktu tersebut diperpanjang hingga 18 Februari 2025, setelah Tel Aviv menolak untuk mematuhinya. Hingga kini, Israel masih mempertahankan kehadiran militernya di lima pos perbatasan.