Jakarta – Kabar buruk menghantam sektor industri manufaktur Indonesia. Pembatasan pasokan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) mengancam keberlangsungan usaha dan berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga 100 ribu tenaga kerja. Kondisi ini memicu kekhawatiran di kalangan investor dan pelaku industri.
Pembatasan HGBT, yang diumumkan oleh produsen gas bumi, dianggap sebagai ‘kado’ pahit di tengah perayaan HUT RI ke-80. Gas bumi merupakan elemen krusial sebagai bahan baku dan sumber energi dalam proses produksi berbagai industri, termasuk pupuk, kaca, keramik, baja, oleokimia, dan sarung tangan karet. Selama ini, industri tersebut menikmati HGBT dengan harga US$ 6,5 per MMBTU sesuai Peraturan Presiden.
Ironisnya, pasokan gas dengan harga di atas US$ 15-17 justru lancar, sementara pasokan HGBT tersendat. Kenaikan harga gas akan berdampak signifikan. Harga bahan baku melambung, otomatis harga produk ikut terkerek naik. Alhasil, daya saing industri nasional melemah dan kalah bersaing dengan produk impor. Mesin-mesin produksi bisa terhenti, dan menghidupkannya kembali membutuhkan waktu serta biaya yang besar.
Kestabilan pasokan energi merupakan fondasi penting bagi kelangsungan industri. Jika terganggu, upaya pemerintah untuk menarik investasi dan memperkuat daya saing akan sia-sia. Pembatasan HGBT juga dinilai bertentangan dengan visi Presiden terpilih untuk mencapai kemandirian energi, pangan, hilirisasi industri, dan penciptaan lapangan kerja.
Selain itu, pengurangan pasokan gas dapat berdampak pada ketersediaan pupuk yang vital bagi ketahanan pangan. Industri oleokimia juga akan terkena imbasnya, mengganggu pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Alasan keterbatasan pasokan gas dianggap tidak masuk akal. Pertanyaan muncul, mengapa industri masih bisa membeli gas saat harganya melonjak hingga US$ 17 per MMBTU, namun pasokan HGBT justru dibatasi?
Jika harga HGBT tetap stabil di US$ 6,5 per MMBTU dengan pasokan yang terjamin, serta penerimaan pajak difokuskan pada produk hilir, target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% bukan mustahil untuk dicapai. Kebijakan yang tepat dapat mewujudkan target tersebut menjadi kenyataan.