Polemik Bupati Pati: Pemberhentian Kepala Daerah Tidak Bisa Dipolitisasi

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Bahtra Banong, menegaskan bahwa pemberhentian seorang kepala daerah tidak boleh didasarkan pada kepentingan politik atau dilakukan secara sepihak. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur secara detail mengenai proses pemberhentian kepala daerah.

Pernyataan ini muncul sebagai respons terhadap isu yang berkembang di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mengenai usulan penggunaan hak angket DPRD Pati terhadap Bupati Sudewo. Isu ini muncul setelah demonstrasi besar oleh Aliansi Masyarakat Pati Bersatu yang menuntut pengunduran diri Bupati Sudewo karena berbagai kebijakan yang dinilai meresahkan.

Bahtra menjelaskan bahwa Pasal 78 ayat (1) UU 23/2014 menyebutkan alasan-alasan kepala daerah dapat diberhentikan, seperti meninggal dunia, berhalangan tetap, atau mengundurkan diri, serta diberhentikan sesuai mekanisme hukum. Pasal 78 ayat (2) menjelaskan tata cara pemberhentian, termasuk masa jabatan yang telah berakhir, tidak melaksanakan tugas selama enam bulan berturut-turut, atau melakukan pelanggaran hukum.

Bahtra menekankan pentingnya proses politik yang bersih dari kepentingan kelompok tertentu dan muatan emosional. Kritik masyarakat harus murni demi kepentingan rakyat, tanpa ditunggangi pihak lain.

Jika hak angket DPRD Pati bergulir, Bupati Sudewo wajib memberikan keterangan mengenai kebijakan yang menuai kontroversi. Jika terbukti ada pelanggaran hukum, masalah ini akan diuji kembali oleh Mahkamah Agung. Namun, jika tidak ada pelanggaran, Sudewo berhak melanjutkan tugasnya hingga akhir masa jabatan.

Bahtra menyimpulkan bahwa semua proses harus sesuai mekanisme dan tata cara yang diatur dalam undang-undang, tidak boleh berdasarkan dugaan semata atau emosi.

Scroll to Top