Krisis Ukraina Memanas: Retaknya Hubungan Diplomatik dan Ancaman Perpecahan

Ketegangan global terkait konflik Ukraina semakin meruncing. Pernyataan kontroversial mantan Presiden AS, Trump, yang menyebut penolakan Zelensky atas klaim Rusia terhadap Krimea sebagai penghambat perundingan damai, menambah kompleksitas situasi. Trump mengkritik Zelensky karena dianggap mempersulit penyelesaian konflik, bahkan mengancam Ukraina bisa kehilangan seluruh wilayahnya jika terus berperang.

Pernyataan Trump ini mengindikasikan potensi perubahan kebijakan AS terkait Krimea, yang jika terealisasi, akan membalikkan sikap Washington selama satu dekade dan menggoyahkan konsensus global pasca-Perang Dunia II. Sementara itu, serangan rudal Rusia kembali menghantam Kyiv dan Kharkiv, memperburuk keadaan.

Perkembangan diplomatik juga mengalami kemunduran. Pertemuan penting di London yang bertujuan membahas solusi konflik diperkecil skalanya setelah pembatalan kehadiran Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio. Meskipun alasan resmi adalah "masalah logistik," sumber internal menyebutkan bahwa AS merasa perundingan belum mencapai titik krusial.

Zelensky merespons dengan menegaskan komitmen Ukraina terhadap konstitusinya, serta keyakinannya bahwa AS akan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianutnya. Ia menyinggung deklarasi penolakan pendudukan Rusia atas Krimea yang pernah dikeluarkan oleh mantan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo.

Di tengah ketidakpastian, Wakil Presiden AS, JD Vance, mengancam akan menarik diri dari proses diplomatik jika Ukraina dan Rusia tidak segera merespons proposal perdamaian yang diajukan AS. Namun, sekutu Eropa Ukraina, seperti Inggris dan Prancis, terus berupaya menjembatani perbedaan pandangan antara AS dan Kyiv. Ketidakhadiran Rubio dalam pertemuan di London memunculkan spekulasi tentang arah kebijakan AS dalam negosiasi yang tengah berlangsung. Pertemuan tetap digelar, meskipun hanya di tingkat pejabat teknis dan tertutup.

Scroll to Top