Isu royalti performing rights kembali menghangat. Ariel NOAH dengan tegas menyatakan bahwa penyanyi bukanlah pihak yang seharusnya menanggung beban pembayaran royalti tersebut. Ia mendesak Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) untuk memberikan klarifikasi atau bahkan permintaan maaf jika aturan final menyatakan sebaliknya.
Pernyataan ini disampaikan Ariel dalam forum konsultasi yang melibatkan Kementerian Hukum, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), dan Komisi XIII DPR RI. Menurut Ariel, kegaduhan ini bermula setelah sidang Agnes Monica, di mana muncul deklarasi yang menyebut penyanyi sebagai pelaku pertunjukan yang bertanggung jawab atas pembayaran performing rights.
Ariel menilai deklarasi tersebut membingungkan, karena selama ini pemahaman yang berlaku adalah izin penggunaan lagu dianggap sah jika pembayaran dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Ariel yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Vibrasi Suara Indonesia (VISI), menyoroti bahwa hingga saat ini masih ada penyanyi yang menerima somasi terkait pembayaran performing rights.
Persoalan royalti memang terus menjadi perdebatan. Berbagai pihak terkait terus berupaya untuk menciptakan ekosistem royalti yang lebih baik. Dinamika polemik ini seringkali diwarnai perbedaan pandangan antara asosiasi musisi VISI, yang diketuai Armand Maulana dan Ariel NOAH, dengan AKSI, yang dipimpin Piyu Padi dan Ahmad Dhani.
AKSI, yang lahir pada Juli 2023, didirikan oleh para komposer besar dengan semangat memperjuangkan kesejahteraan para pencipta lagu. Salah satu langkah yang mereka dorong adalah penerapan sistem direct license, di mana izin penggunaan lagu dapat diberikan langsung dari pencipta kepada penyanyi atau pihak yang ingin memakainya. AKSI dikenal dengan sikap tegasnya, bahkan pernah mendesak pembubaran LMKN jika tidak transparan dalam mengelola royalti.
Sementara itu, VISI, yang lahir pada Februari 2025, lebih banyak diinisiasi oleh para penyanyi ternama. VISI mengusung pendekatan kolaboratif dan edukatif. Mereka mengajak musisi, publik, dan pemerintah untuk bersama-sama membenahi sistem royalti melalui revisi Undang-Undang Hak Cipta dan mendorong digitalisasi agar distribusi royalti lebih transparan dan adil.
Perbedaan pendekatan antara AKSI dan VISI mencerminkan kompleksitas persoalan royalti musik di Indonesia. AKSI cenderung lebih frontal dalam menuntut perubahan, sementara VISI memilih jalur diplomatis dengan menekankan edukasi dan dialog. Terlepas dari perbedaan tersebut, kedua asosiasi ini memiliki tujuan yang sama, yaitu memperbaiki sistem royalti musik yang selama ini dianggap bermasalah, mulai dari tata kelola, transparansi, hingga distribusinya. Lembaga seperti LMK dan LMKN pun terus menjadi sorotan terkait pengelolaan royalti ini.