Jakarta – Turki menyerukan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk mengambil tindakan tegas terhadap Israel, dengan menuntut penangguhan partisipasi negara tersebut dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang akan datang. Seruan ini muncul sebagai respons terhadap situasi yang terus memburuk di Gaza, di mana Turki melihat adanya indikasi genosida yang berkelanjutan.
Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, menyampaikan desakan ini dalam forum OKI di Riyadh. Fidan menekankan perlunya tindakan kolektif dari negara-negara Islam untuk mengakhiri konflik di Gaza dan menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh pemukim di Tepi Barat. Ia menyoroti bahwa agenda pertemuan tersebut difokuskan pada tiga hal utama: menghentikan perang, memperkuat persatuan umat Islam, dan mendorong tindakan dari komunitas internasional.
Fidan secara khusus menyoroti kondisi mengenaskan di Gaza, termasuk pengumuman resmi dari PBB mengenai kelaparan yang melanda wilayah tersebut. Ia juga mengkritik upaya Israel yang dinilai berupaya menghapus keberadaan Palestina.
"Kita harus bersatu untuk mempertahankan dan memperluas pengakuan terhadap Palestina, dan meluncurkan inisiatif di PBB untuk keanggotaan penuh Palestina serta mempertimbangkan penangguhan Israel dari Majelis Umum," tegasnya.
Pertemuan para menteri luar negeri OKI menghasilkan pernyataan yang mendesak negara-negara anggota untuk meninjau kembali keanggotaan Israel di PBB, dengan alasan bahwa Israel telah melanggar syarat-syarat keanggotaan dan tidak mematuhi resolusi-resolusi PBB.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, juga mengutuk tindakan "kejam tanpa henti" Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Kecaman ini disampaikan setelah rapat kabinet sebagai respons terhadap pembantaian yang menewaskan puluhan warga Palestina di Khan Younis, Gaza selatan, termasuk sejumlah jurnalis.
Serangan militer Israel di Gaza telah menyebabkan banyak korban jiwa. Al Jazeera melaporkan bahwa sejumlah orang tewas, termasuk juru kamera mereka, Mohammad Salama. Al Jazeera mengecam pembunuhan terhadap para jurnalis sebagai upaya sistematis untuk membungkam kebenaran dan menyebutnya sebagai "kejahatan perang".