Jakarta – Pemerintah memberikan insentif besar untuk mobil listrik impor (CBU) yang membuat harganya kompetitif dan menarik perhatian publik. Namun, kebijakan ini juga memicu perdebatan tentang dampaknya bagi industri otomotif dalam negeri.
Data Sertifikat Uji Tipe (SRUT) Kementerian Perhubungan menunjukkan pertumbuhan signifikan kendaraan listrik di Indonesia. Total populasi kendaraan listrik meningkat dari 207.478 unit tahun lalu menjadi 274.802 unit. Mobil penumpang menjadi kontributor terbesar dengan 77.277 unit, diikuti oleh kendaraan roda dua (15.064 unit) dan roda tiga (617 unit).
Insentif yang diberikan pemerintah meliputi:
- Pembebasan PPN: PPN ditanggung pemerintah sebesar 10% untuk mobil listrik dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) minimal 40% dan 5% untuk bus.
- Pembebasan Bea Masuk dan PPnBM: Untuk impor mobil listrik berbasis baterai dalam bentuk utuh (CBU).
Kebijakan ini berlaku hingga 31 Desember 2025. Produsen yang memanfaatkan insentif wajib berkomitmen untuk memproduksi kendaraan di dalam negeri setelah impor dengan rasio 1:1.
Meskipun insentif diharapkan dapat mempercepat adopsi kendaraan listrik, pelaku industri khawatir hal itu justru dapat menggerus daya saing industri otomotif lokal yang telah berinvestasi besar. Beberapa perusahaan yang memanfaatkan fasilitas impor antara lain Citroen, Aion, Maxus, VW, BYD, Geely, VinFast, Xpeng, hingga Great Wall Motors (GWM).
Data Gaikindo menunjukkan penjualan BYD memimpin dengan 16 ribu unit, diikuti oleh Denza (6 ribu unit), AION (3 ribu unit), Geely (1.500 unit), Citroën (839 unit), Xpeng (75 unit), dan Maxus (66 unit).
Pasar mobil listrik melonjak dari 0,08% pada 2021 menjadi 9,70% pada Juli 2025. Sebaliknya, kendaraan berbasis Internal Combustion Engine (ICE) turun dari 99,64% menjadi 82,2%.
Kemenperin menegaskan bahwa insentif impor CBU hanya bersifat sementara, sebagai jembatan menuju produksi lokal. Setelah 2025, produsen wajib memenuhi komitmen produksi dengan rasio 1:1 sesuai peta jalan TKDN.
Pengamat ekonomi dari LPEM UI berpendapat bahwa sudah saatnya pabrikan memproduksi mobil listrik di Indonesia. Melanjutkan insentif impor dapat menghambat tujuan Indonesia menjadi basis produksi kendaraan listrik.
Asosiasi dan pengamat industri menyoroti bahwa insentif untuk produk impor dapat menciptakan ketimpangan, merugikan pabrikan yang telah berinvestasi dan membangun fasilitas perakitan di dalam negeri. Belajar dari kasus Thailand, kebijakan yang terburu-buru dapat merusak industri yang sudah ada.