Gelombang demonstrasi yang menggema di berbagai penjuru Indonesia telah membangkitkan kembali tuntutan publik terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Respon cepat dari Presiden Prabowo Subianto pun muncul di tengah harapan masyarakat.
Dalam pertemuan dengan para pemimpin serikat pekerja di Istana Negara, Presiden Prabowo berjanji akan mengupayakan percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Janji ini disambut baik oleh para tokoh buruh yang menekankan urgensi pengesahan aturan tersebut.
RUU Perampasan Aset bertujuan memberikan kekuatan kepada negara untuk menyita aset yang diduga berasal dari tindak pidana, termasuk korupsi dan kejahatan berat lainnya, demi memulihkan kerugian negara.
Meskipun demikian, ironisnya, RUU Perampasan Aset tidak termasuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025 yang telah disahkan oleh DPR. Dari 41 RUU yang diprioritaskan, justru RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang muncul. RUU Perampasan Aset ditempatkan dalam Prolegnas jangka menengah 2025-2029.
Mantan Kepala PPATK Yunus Husein menilai bahwa RUU Perampasan Aset sangat strategis untuk pemulihan aset lintas kejahatan, tidak hanya korupsi, tetapi juga judi daring, perpajakan, lingkungan hidup, perbankan, hingga penipuan. Ia mencontohkan praktik di negara lain seperti Kolombia dan Australia yang secara agresif mengejar aset hasil kejahatan.
Yunus menjelaskan bahwa RUU ini dapat menerapkan mekanisme pembuktian terbalik. Jika seorang pejabat melaporkan harta Rp100 miliar tetapi hanya bisa membuktikan asal-usul yang sah sebesar Rp80 miliar, maka selisih Rp20 miliar berpotensi dirampas.
Sekjen DPP PKS Muhammad Kholid menegaskan bahwa partainya konsisten mendukung pengesahan RUU ini sebagai langkah strategis untuk melindungi uang rakyat dan memastikan pelaku korupsi tidak menikmati hasil kejahatannya.
Bagaimana RUU Bisa Dibahas Meski Tak Masuk Prolegnas?
Secara umum, pembentukan undang-undang diawali dengan perencanaan melalui Prolegnas. Namun, ada dua jalur yang memungkinkan RUU yang belum masuk Prolegnas tetap dapat dibahas:
Jalur Keadaan Tertentu/Urgensi Nasional: Undang-undang memberikan ruang bagi DPR atau Presiden untuk mengajukan RUU di luar Prolegnas jika ada keadaan luar biasa atau urgensi nasional. Syaratnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Menkumham menyetujui dasar urgensi tersebut.
Jalur Penyesuaian/Perubahan Prolegnas: Baleg bersama Pemerintah dapat melakukan penyesuaian Prolegnas Prioritas melalui revisi daftar tahun berjalan.
Dengan demikian, masih ada harapan bagi RUU Perampasan Aset untuk segera dibahas dan disahkan, meskipun tidak termasuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. Komitmen dari berbagai pihak, terutama pemerintah dan DPR, sangat dibutuhkan untuk mewujudkan aturan yang dapat menjadi senjata ampuh dalam memberantas korupsi dan melindungi keuangan negara.