Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan kembali menjalin sinergi melalui skema burden sharing atau berbagi beban untuk mendanai program-program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang tertuang dalam Asta Cita. Kali ini, implementasinya dilakukan dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dalam jumlah signifikan di pasar sekunder, berbeda dengan skema pembelian langsung di pasar primer seperti saat pandemi Covid-19.
Ramdan Denny Prakoso, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, menjelaskan bahwa burden sharing ini berfokus pada pembagian beban bunga atas penerbitan SBN untuk program pemerintah terkait Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Pembagian ini dilakukan dengan membagi rata biaya bunga setelah dikurangi penerimaan dari penempatan dana pemerintah untuk kedua program tersebut di lembaga keuangan domestik.
Mekanismenya, BI memberikan tambahan bunga terhadap rekening pemerintah di BI, sesuai dengan perannya sebagai pemegang kas pemerintah. Hal ini selaras dengan Undang-Undang Bank Indonesia dan Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
Denny menegaskan bahwa besaran tambahan beban bunga oleh BI tetap mempertimbangkan program moneter untuk menjaga stabilitas perekonomian. Sinergi ini bertujuan memberikan ruang fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meringankan beban masyarakat.
Sejak awal tahun hingga Agustus 2025, BI telah membeli SBN senilai Rp 200 triliun untuk mendukung pembiayaan program Asta Cita. Angka ini termasuk pembelian di pasar sekunder dan program debt switching dengan pemerintah sebesar Rp150 triliun.
BI memastikan bahwa sinergi kebijakan fiskal dan moneter ini tetap mengacu pada prinsip kehati-hatian, disiplin, dan integritas pasar.
Pemerintah memfokuskan Asta Cita pada program-program ekonomi kerakyatan, seperti Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Dukungan BI diwujudkan melalui pembelian SBN di pasar sekunder dan berbagi beban bunga dengan pemerintah untuk program-program tersebut.
Pembelian SBN di pasar sekunder dilakukan secara terukur, transparan, dan konsisten dengan upaya menjaga stabilitas perekonomian, sehingga kredibilitas kebijakan moneter tetap terjaga.
BI akan terus bersinergi dengan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sejalan dengan program Asta Cita, sambil menjaga stabilitas perekonomian.
Bauran kebijakan BI akan disinergikan dengan kebijakan fiskal, termasuk melalui pembelian SBN di pasar sekunder dan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) yang telah mencapai Rp 384 triliun hingga akhir Agustus 2025. Selain itu, digitalisasi sistem pembayaran terus dipercepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
BI juga melakukan ekspansi likuiditas melalui penurunan posisi instrumen moneter SRBI dari Rp 923 triliun pada awal tahun 2025 menjadi Rp 715 triliun pada akhir Agustus 2025.
Sejalan dengan arah kebijakan moneter tersebut, BI telah menurunkan BI Rate sebesar 125 bps sejak September 2024, yang merupakan level terendah sejak tahun 2022. Kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah juga terus diperkuat dengan intervensi di pasar off-shore melalui NDF dan intervensi di pasar domestik melalui pasar spot, DNDF serta pembelian SBN di pasar sekunder.