Jakarta – Matthew English, seorang akuntan berusia 64 tahun dari Alabama, Amerika Serikat, mengalami pahitnya mencari pekerjaan di usia senja. Bayangkan, setiap jam 3 pagi ia terbangun, bukan untuk bersantai, melainkan untuk kembali menelusuri lowongan kerja.
Sejak Oktober 2024, setelah puluhan tahun berkecimpung di dunia akuntansi, Matthew telah mengirimkan ratusan lamaran, mengikuti puluhan wawancara, namun hasilnya nihil. Kegelisahan menghantuinya setiap malam. Ia memutar otak, mencari strategi baru, atau sekadar menulis email ucapan terima kasih setelah wawancara, sebuah rutinitas yang melelahkan.
Kondisi ini memaksa Matthew menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beban finansial semakin berat, membuatnya harus berhemat. "Tahun lalu, saya tak bisa memberikan hadiah Natal seperti biasanya dan terpaksa mengurangi sumbangan amal," ungkapnya.
Awalnya, Matthew hanya melamar posisi yang sesuai dengan pengalamannya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia membuka diri pada berbagai peluang, mulai dari pekerjaan lepas hingga pekerjaan tanpa keahlian khusus. Bahkan, ia pernah melamar menjadi maskot sapi di sebuah restoran, demi mencari celah untuk bertahan.
Matthew meyakini, usia menjadi penghalang utama. "Orang mungkin terkesan dengan CV saya, tetapi ketika melihat rambut beruban, kepala botak, dan kerutan di wajah, itu pasti memberikan kesan tertentu," ujarnya.
Namun, semangatnya tak padam. Matthew mencoba berbagai cara: membuat jadwal melamar yang konsisten, menyesuaikan CV, menghadiri pameran kerja, aktif di LinkedIn, memanfaatkan berbagai situs lowongan, serta mengoptimalkan jaringan profesional dan pribadi.
Ia menyadari bahwa jaringan adalah senjata ampuh. Beberapa wawancara berhasil ia dapatkan berkat bantuan teman atau kenalan yang memastikan CV-nya dilihat oleh manajer HR. Bahkan, ketika kenalannya bekerja di perusahaan yang tidak membuka lowongan, mereka sering mengenalkannya kepada orang lain yang sedang mencari kandidat. Ia bahkan rela menjadi relawan di organisasi nirlaba, berharap dapat bertemu orang yang bisa membantunya.
Matthew juga memanfaatkan ChatGPT untuk menelusuri lowongan, mencari perusahaan lokal yang membutuhkan akuntan, atau mencari pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Salah satu hal yang paling membuatnya frustrasi adalah menunggu kabar dari perusahaan berbulan-bulan lamanya. Ia pernah mengikuti beberapa wawancara tatap muka, mengirim email ucapan terima kasih, namun dua bulan kemudian perusahaan baru memberi kabar bahwa posisi yang dilamar sudah terisi.
Baru-baru ini, ia mendapatkan pekerjaan kontrak tiga hari seminggu sebagai akuntan dengan gaji 28 dolar AS per jam. Namun, ia masih membutuhkan pekerjaan penuh waktu. Beban keuangan yang menumpuk membuatnya pesimis akan bisa pensiun. Matthew menyebut pengalamannya ini sebagai bukti bahwa sistem perekrutan saat ini rusak.
Ia merasa tidak sendirian. Pekerja muda dan senior sama-sama menghadapi tantangan yang berat. Menurutnya, sistem ini perlu diperbaiki agar proses mencari kerja tidak menjadi siksaan bagi para pencari kerja yang serius dan berdedikasi.